Meluruskan Kefahaman Hadits Ghodir Khum dan Aqidah Wishoyah

      Wishayah dalam doktrin Syi’ah bukanlah pencalonan atau pemilihan namun “pengangkatan” yang dilakukan oleh Nabi. Mereka meyakini bahwa nabi Muhammad SAW telah mewasiatkan bahwa pengganti beliau adalah Ali bin Abi Thalib. Peristiwa pengangkatan ini berdasarkan pada hadits yang terkenal dengan hadits Ghadir Khum, yaitu, “Man Kuntu Maulahu Fa ‘Aliyyun Maulaahu”. Hadits ini sangat populer di kalangan Syi’ah karena menurut mereka hadits ini adalah sebagai bukti dan dalil bahwa Sayyidina Ali ditunjuk langsung oleh Nabi sebagai khalifah sesudahnya.

Klaim golongan Syi’a seperti ini adalah klaim yang tidak effair dan mudah menjerumuskan orang awam. Oleh karena itu perlu diluruskan apa dan bagaimana maksud hadits Ghadir Khum tersebut. Yang jelas hadits ini jauh panggang dari api jikalau di artikan sebagai penunjukan langsung dari Rasulullah SAW kepada Sayyidina Ali sebagai kholifah.

Pada tahun 10 H, Rasulullah SAW beserta para sahabat berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan Ibadah Haji (Haji Wada’). Bersamaan dengan itu, rombongan kaum muslimin yang dipimpin oleh Sayyidina Ali bin Abi Tholib yang di kirim oleh Rasulullah SAW ke Yaman, telah kembali dan mereka langsung menuju ke kota Mekkah untuk bergabung dengan Rombongan Rasulullah. Begitu Rombongan sudah mendekati tempat dimana Rasulullah berada, Sayyidina Ali segera memasrahkan rombongannya kepada Buraidah, sedangkan beliau pergi menemui dan melapor kepada Rasulullah. Sepeninggal Sayyidina Ali, Buraidah langsung membagi-bagikan pakaian hasil rampasan perang yang masih tersimpan ditempatnya, tujuannya agar rombongan kelihatan rapi saat masuk kota dan bertemu dengan yang lain. Namun begitu Sayyidina Ali kembali dari menemui Rasulullah dan menghampiri rombongannya, beliau terkejut dan langsung marah-marah, sembari perintah agar pakaian-pakaian yang baru saja dipakai oleh mereka itu dilepas dan di kembalikan ketempatnya. Karena menurutnya yang berhak membagi-bagi hanyalah Rasulullah SAW. Namun tindakan Sayyidina Ali tersebut membuat sebagian anak buahnya kecewa.

Ketika rombongan sampai di tempat Rasulullah SAW, Buraidah segera menghadap Rasulullah dan melaporkan kejadian yang baru saja mereka alami, sambil sesekali menjelek-jelekan Sayyidina Ali. Mendengar laporan dari Buraidah, muka Rasulullah menjadi berubah, karena beliau tahu bahwa tindakan Sayyidina Ali tersebut benar. Kemudian Rasulullah bersabda “Wahai Buraidah! Apakah Aku tidak lebih utama (untuk dicintai dan diikuti) oleh orang-orang mu’min daripada diri mereka sendiri?”. Buraidah Menjawab, “Benar Ya Rasulullah”. Lantas Rasulullah kembali bersabda,
مَنْ كُنْتُ مَوْلاَهُ فَعَلِيٌّ مَوْلاَهُ (رواه الترمذى والحكيم)
     
    Barang siapa menganggap aku sebagai pemimpinnya, maka Ali-pun juga pemimpinnya”. (HR. Turmuzhi dan al-Hakim).
      
      Selanjutnya setelah Rasulullah dan rombongan selesai dari mengerjakan Ibadah Haji, pada saat sampai di tempat yang bernama Ghadir Khum, Rasulullah SAW berkhotbah yang diantara isinya yaitu Rasulullah mengulangi hadits tersebut (Man Kuntu Maulahu Fa ‘Aliyyun Maulaahu). Hal ini karena tidak hanya Sayyidina Ali dan Buraidah saja yang berselisih pendapat, tetapi juga ada sebagian rombongan yang masih tidak puas dan kecewa terhadap tindakan Sayyidina Ali pada saat itu. Oleh karenanya Rasulullah SAW mengulangi lagi sabdanya kepada Buraidah didepan khalayak ramai, agar permasalahan tersebut tidak berlarut-larut dan dapat segera selesai.
      
     Dari alur cerita hadits Ghodir Khum diatas, dapat dipahami bahwa hadits tersebut tidak ada hubungannya dengan wasiat pengangkatan Rasulullah terhadap Sayyidina Ali sebagai kholifah, akan tetapi hanya sebagai penekanan atau pemantapan atas kepemimpinan Sayyidina Ali terhadap rombongan yang di utus Rasulullah ke Yaman. Demikian ini karena jika hadits Ghodir Khum diatas di pahami seperti kepahaman orang-orang Syi’ah, maka konsekwensinya, tidak hanya Abu Bakar, Umar dan Utsman saja yang di cap sebagai pembangkang terhadap wasiat dan perintah Rasulullah SAW, tetapi Sayyidina Ali-pun juga seperti itu, karena mereka berempat sama-sama membangkang alias tidak menuruti wasiat dan perintah Rasulullah SAW. Wa Allahu A’lam. (Bidayatul Hidayah Libni Katsir)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pembagian Bab-bab Dalam Tashrif

2. Fi’il Tsulatsi Mazid

Pengertian Shorof dan Tashrif