Kisah Perjuangan Seorang Penambal Ban Menuju Baitullah

Lebih dari seperempat abad, Pak Hardi (54) menjalani profesi sebagai tukang tambal ban sepeda. Tak tampak keistimewaan dari bapak lima putra ini. Setiap hari ia mengenakan pakaian ‘kebesaran’ yang lusuh dan berlumur gemuk (oli). Peci hitam dan kacamata plus menjadi atribut khasnya. Jika sedang beruntung, biasanya Pak Hardi membawa pulang uang sekitar Rp 20 ribu – Rp 25 ribu dalam sehari. Sementara saat sepi, ia bisa pulang dengan tangan kosong, meskipun seharian membuka bengkel kecilnya, yang terletak di tepi jalan Wonosari (dekat stasiun Jogja TV),  Jogjakarta.

Namun siapa sangka, di balik ketidakistimewaannya, pria bersahaja ini adalah seorang haji. Hebatnya, perjuangan yang ia lalui untuk sampai ke Baitullah berbeda dengan kebanyakan jamaah haji pada umumnya.

Pak Hardi menyisihkan selembar demi selembar uang hasil jerih payahnya untukk ditabung, kemudian dibelikan sapi. Sisanya untuk biaya hidup keluarganya. Bagi orang seukuran dia, hal tersebut bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan, mengingat keterbatasan ekonominya.

Beruntung karena Pak Hardi mampu melewati godaan-godaan itu selama kurang lebih 15 tahun. Akhirnya bisa berangkat ke Tanah Suci pada tahun 1998. Sebuah nikmat yang luar biasa, ketika wong cilik seperti dia bisa menunaikan ibadah haji.

Keinginan berhaji berawal ketika Pak Hardi sering mendengarkan ceramah dari para kyai saat di pengajian. Ia memang sangat rajin mengikuti acara pengajian, khususnya di pagi hari. Tak hanya di satu tempat, tetapi Pak Hardi sering menyampatkan diri datang ke masjid-masjid untuk mendengarkan nasihat agama. Gemblengan-gemblengan nasihat itulah yang menumbuhkan niat dan tekad yang kuat dalam dirinya untuk bisa pergi haji.

Meskipun tidak diucapkan secara lisan, namun usahanya untuk mewujudkan niat tersebut tak main-main. Selain rutin mengumpulkan uang hasil kerjanya, Pak Hardi juga rajin memohon pada Allah melalui salat tahajjud dan membaca doa mohon kekayaan. Bahkan setiap ia hendak menabung uangnya, ada doa khusus yang selalu dibaca. Tujuannya agar bisa menjaga ketetapan hatinya

Namun demikian, bukan berarti dirinya terlepas dari godaan syetan. Ia mengakui ada saja hal-hal yang kadang membuat niatnya goyah. Misalkan, saat putrinya minta dibelikan sepeda motor atau keinginan untuk membeli barang-barang baru.

Hanya saja, ia tetap tak goyah dari niatnya semula. Prinsipnya, sebelum bisa naik haji, ia tidak akan membeli barang apapun dengan uang simpanannya.itu, kecuali sapi. Maksudnya sebagai simpanan sebelum berangkat haji.

Dari hasil tabungannya itu, pak Hardi bisa membeli 9 ekor sapi. Kesemuanya dititipkan pada tertangga untuk dipelihara. Dengan begitu, secara tidak langsung Pak Hardi pun telah menolong orang lain.

Saat musim haji hampir tiba, Pak Hardi menjual semua sapinya untuk setoran Ongkos Naik haji (ONH). Pada waktu itu ONH per orang sekitar Rp 8,8 juta, padahal uang hasil penjualan sapinya hanya Rp 6, 5 juta. Kemudian ia mengambil seluruh tabungannya yang ada di bank. Itu pun masih kurang sekitar Rp 600 ribu. Di tengah kebingungannya, ada salah seorang tetangganya yang berbaik hati meminjamkan uang kepadanya.

Sakit di Madinah

Pak Hardi merupakan salah satu calon jamaah haji yang berangkat pada gelombang pertama. Ia beserta rombongan menuju Madinah dulu sebelum mengerjakan ritual haji atau Pak Hardi biasa menyebutnya "ziarah haji".

Selama di Madinah, setiap jamaah disunnahkan untuk mengerjakan salat arbain atau salat 40 waktu di Masjid Nabawi. Sayangnya, Pak Hardi tidak bisa memenuhi 40 waktu tersebut karena sakit. Namun Alhamdulillah pada saat hendak ke Mekah, kesehatannya pulih, sehingga ia mampu menyelesaikan ibadah hajinya dengan sempurna.

Ingin Nabung Buat Istri

Sepulangnya dari Tanah Suci, Pak Hardi tidak lantas merasa cukup. Ia bahkan berencana untuk memberangkatkan istrinya dengan cara yang sama. Kini, sudah hampir 10 tahun ia menyisihkan hartanya dalam bentuk 2 ekor sapi.

Selain itu, ia merasakan nikmat yang besar dari ibadah yang telah dikerjakannya. Pak Hardi mengaku lebih tenteram semenjak pulang dari Mekah. Kesehatannya juga semakin baik, meskipun usianya sudah lebih dari setengah abad.

Dari segi ekonomi, mungkin memang tidak begitu terlihat perubahannya, masih tetap sederhana. Namun, bagi keluarga Pak Hardi itu bukanlah sesuatu yang penting. Mereka justru terbiasa dengan kesederhanaan. Yang terpenting baginya adalah ibadah untuk bekal di akhirat. Tak heran jika niatnya bekerja pun semata-mata untuk ibadah. Jika ada imbalan materi, itu adalah pemberian rizki dari Allah melalui orang lain.
Itulah perjalanan panjang Pak Hardi menuju ke Baitullah. Memang tidak mudah, namun ketekunan dan kesabarannya mampu mengantar Pak Hardi sebagai tamu Allah di antara jutaan umat manusia. MasyaAllah.... 
Sumber : http://www.wikimu.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pembagian Bab-bab Dalam Tashrif

2. Fi’il Tsulatsi Mazid

Pengertian Shorof dan Tashrif