Faedah Majelis Dzikir

Dzikrullah ialah mengingat Allah swt. Dalam arti luas, dzikrullah meliputi semua aktifitas manusia yang didalamnya ada dorongan untuk mengingat Allah swt dan Rasul-Nya, misalnya sholat, bertasbih, bertahlil, bertakbir, memuji-muji Allah, majlisil ilmi, majlis madchur Rasul, membaca riwayat para utusan Allah dan para kekasih-kekasih Allah, dengan tujuan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah swt.

Fenomena dzikir bersama yang semakin berkembang disebagian masyarakat, menunjukkan bahwa dzikirullah merupakan kebutuhan bagi mereka, meskipun tujuan mereka berbeda.
Diantara mereka ada yang karena tulus bertaqorrub kepada Allah, ada yang karena memenuhi panggilan jiwa yang gersang dan hampa, ada juga yang datang karena stress dihimpit persoalan rumah tangga dan kesulitan ekonomi atau persoalan-persoalan lainnya. Terlepas dari tujuan dan niat masing-masing, aktifitas dzikrullah ini merupakan awal yang bagus dalam rangka menumbuhkan minat seseorang untuk memperbaiki sifat dan prilakunya.

Menurut hemat kami, tumpukan problema yang sedang menimpah bangsa ini yang tidak kunjung selesai, bahkan semakin bertambah, sementara disisi lain bencana alam datang terus menerus tanpa henti, adalah karena bobroknya moralitas, sehingga upaya perbaikan pada semua line banyak terdapat hambatan dan menemui jalan buntu. Di sinilah dzikir dan do’a bersama perlu kita galakkan untuk memperkuat usaha dan upaya perbaikan yang dilakukan secara terus menerus, agar kiranya Allah swt menurunkan rohmat dan pertolongan-Nya kepada bangsa ini.

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ : مَا مِنْ قَوْمٍ اِجْتَمَعُوا يَذْكُرُوْنَ اللهَ لاَ يُرِيْدُوْنَ بِذلِكَ إِلاَّ وَجْهَهُ تَعَالى إِلاَّ نَادَاهُمْ مُنَادٍ مِنَ الَّسمَاءِ أَنْ قُوْمُوْا مَغْفُوْرًا لَكُمْ. أخرجه الطبرانى

“Rasulullah saw bersabda, Tidaklah suatu kaum berkumpul untuk berdzikir kepada Allah dan hanya mengharapkan ridlonya, kecuali malaikat berseru kepada mereka “berdirilah kalian semua dalam keadaan sudah diampuni dosa-dosa kalian. (HR. Thobroni)

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم, يقول الله تعالى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِىْ وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِى, فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِى نَفْسِي وَإِذَا ذَكَرَنِىْ فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِى مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ. متفق عليه

“Rasulullah saw bersabda, Allah swt berfirman, “Aku berbuat seperti persangkaan hambaku, aku senantiasa besertanya apabila ia selalu berdzikir kepadaku, maka apabila ia menyebut-nyebut namaku (berdzikir) sendirian maka aku akan menyebutnya sendirian pula, dan jika ia berdzikir (berkelompok) dalam sebuah jama’ah maka aku akan mnyebutnya dalam kelompok yang lebih bagus daripada kelompoknya. (HR. Muttafaq Alaih)

Temuan orang seperti Alexis Tocqueville di Amerika yang termuat dalam bukunya yang terkenal Democracy in America. Tocqueville mendeskripsikan tentang seorang yang aktif dalam kegiatan keagamaan sekaligus mempunyai sumbangsih bagi perkembangan demokrasi. Dari sini urgensi agama dalam hubungannya dengan demokrasi akan terlihat bilamana agama diterjemahkan dalam kelompok-kelompok sosial yang menjadi kekuatan kolektif. Mereka yang rajin berpuasa sunnah sendiri atau sholat tahajud pada gelap malam sendirian, sekalipun ibadah-ibadah itu penting dan pokok dalam agama, tetapi kalau diterapkan dalam kehidupan sosial-politik yang lebih luas, hal tersebut tidaklah terlalu bermakna (dalam hubungan antara manusia). Sebab untuk bisa suksesnya konteks demokrasi, maka dimensi-dimensi ritual yang beraspek kolektivitas yang lebih diperlukan dalam konteks demokrasi. Misalnya, sholat berjama’ah.

Dalam tradisi NU, kita mengenal praktik yasinan, manakiban, tahlilan, tujuh harian bagi orang yang meninggal, haul, dan lain-lain. Praktik-praktik itu, dalam temuan dua penelitian saya secara nasional pada 2001 dan 2002, mempunyai efek ganda. Dengan begitu, dalam diri mereka ada semacam peran-peran dan status sosial yang lebih kompleks. Itulah yang menjadikan seorang yang religius tersebut menjadi positif untuk konteks demokrasi. Sebab, basis sosial semacam itulah yang sesungguhnya dibutuhkan oleh demokrasi kalau kita melihatnya dari sisi masyarakat.

Dalam ritual yasinan, tahlilan, manakiban dan lain-lain, terdapat dimensi transedental, yakni niat ibadah pada Allah. Hanya, implikasi ritual tersebut juga banyak kita temukan. Dalam ritual yasinan, kita kan tidak hanya membaca yasin, tapi juga bersilaturahmi, bertemu orang lain, saling menyapa dan ada sedekah. Itulah yang dalam konteks demokrasi disebut sebagai civic engagement (keterlibatan masyarakat). Sekiranya, modal sosial dalam tradisi kita tersebut yang mendorong orang untuk hidup secara kolektif dan terlibat secara sosial dimusnah kan karena dianggap bid’ah bahkan kasus-kasus tertentu diklaim musyrik, tindakan itu tidak akan mendukung kearah demokrasi.

Coba lihat, kehidupan keagamaan di Arab Saudi (zaman sekarang) begitu kering. Disitulah akar fundamentalisme dan konservatisme Islam yang sangat anti demokrasi berkembang. Apa penyebabnya? Mereka melihat kehidupan ini begitu simpel. Mereka tidak membawa ummat Islam kedalam kehidupan yang sangat kaya dan heterogen secara sosial-budaya. Artinya, jika umat Islam makin terlibat dalam kehidupan sosial, dia makin terhindar dari benih-benih fundamentalisme. Karena itu, kita bisa menyaksikan orang-orang sufi termasuk yang cukup toleran. Hal itu disebabkan ada dimensi sosial yang mereka rasakan, lihat, dan alami sendiri. Dengan begitu, mereka tahu bahwa hidup bukan hanya hitam-putih atau untuk ibadah yang bersifat personal (perorangan) saja. Ungkap Saiful Muzani, direktur Freedom Institute yang baru menyelesaikan doktornya di Universitas Ohio State Amerika pada 10 Juni 2003

Tapi sayang, kegiatan yang mulia dan syarat dengan nuansa ukhuwwah islamiyyah yang harmonis dan kental dengan prilaku sosial seperti ini, malah di anggap bid’ah oleh segelintir orang yang merasa bahwa hanya kelompoknyalah yang kembali kepada Al-Qur’an, dan Al-Hadist, serta paling berhak masuk kedalam surga. Harapan saya dengan adanya kutipan ini pembaca bisa menilai dan mengambil kesimpulan tentang guna dan manfaat majlis dzikir bagi Negara dan masyarakat, juga tidak terpengaruh dengan vonis bid’ah yang hanya akan memecah belah persaudaraan umat islam. Amin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pembagian Bab-bab Dalam Tashrif

2. Fi’il Tsulatsi Mazid

Pengertian Shorof dan Tashrif